‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’
adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah
banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau
dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul
penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang
Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India
yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan
bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum
Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan
tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme
menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih,
meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum
islam.
Kemudian
datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya
untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah swt. sebagai salah satu
bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Perintah
dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak
terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah
swt. dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan
atau situasi, umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan
lain sebagainya.
Sehubungan
dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu
berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali
dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’.
Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan
keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus
kali. Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti
itu maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui
jumlahnya yang pasti.
A. Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan:
“Rasulallah saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”.
Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir),
bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan
ke-Suci-an Allah swt.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian
akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena
jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” .
Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti melarang
orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau
memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang khusus tentang
itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
2. Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulallah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
3. Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang mengatakan:
“Bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :
‘Subhanallahi
‘adada maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil
ardhi, subhanallahi ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu
dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu
mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu dzaalika’ ”.
Yang
artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha
suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak
makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi,
Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah,
seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’
“.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulallah saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau saw. tidak melarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !
Beliau
saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih
utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus
dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulallah saw. jadi terserah kemampuan
mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang
dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata
tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!
4. Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil,
lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia
menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu
berdzikir hingga sore hari “.
5. Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil.
Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba
sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya
dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu
itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu
kerikil itu kepadanya’.
6. Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
7. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa
Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam
kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu
untuk menghitung dzikir hingga habis’.
8. Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.
9. Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir ’.
10. Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa
‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus
butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at sholat
sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya
dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.
11. Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak
sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung
dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.
B. Tidak ada Larangan terhadap penggunaan Tasbih dalam Dzikir
Menurut
riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru
dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’
belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu
diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus .
Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana.
Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih
untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu
tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah
yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah swt. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada
zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah
butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya
dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini
malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zaman nya Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.
Cara
apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat
menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah
Rasulallah saw.. itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan
riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa
menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga,
bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga
digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar
maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.
Jadi
masalah menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak
perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan tetapi
Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah
hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian
maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan,
yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut
dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain.
Dalam soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik
ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati
mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka dalam
hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. Allah
swt. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan
melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya
Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri
apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan
Tasbih adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dn lain sebagainya ???
Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.
Semoga
dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi
serta pengikutnya dan keterangan bid’ah yang singkat ini insya-Allah
bisa membuka hati kita masing-masing agar tidak mudah mensesatkan,
mengkafirkan dan sebagainya pada saudara muslim kita sendiri yang sedang
melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab
dengan madzhab kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar